Wanprestasi Jadi Kasus Korupsi

Kontrak bisnis
Ilustrasi kontrak bisnis

Mungkin kita pernah dengar beberapa kasus yang ditangani aparat penegak hukum yang tadinya perdata kemudian menjadi pidana, salah satun contohnya mengenai wanprestasi terhadap kontrak menjadi kasus pidana korupsi, pertanyaannya apakah bisa terjadi demikian? 

Mari kita coba bahas sekilas terkait dengan wanprestasi dan katogori tindak pidana korupsi.

Apa Itu Wanprestasi ?

Wanprestasi merupakan pelanggaran atas perjanjian yang dibuat dan disepakati oleh dua belah pihak. Dimana ketika salah satu pihak tidak mampu melaksanakan kewajibannya sesuai dengan kesepakatan yang ada maka tindakan tersebut dapat dikatakan sebagai wanprestasi.

Dikutip dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) bahwa yang dimaksud dengan wanprestasi adalah sebuah keadaan dimana salah satu pihak (biasanya perjanjian) berprestasi buruk karena kelalaian.

Sedangkan menurut Pusat Penyuluhan dan Bantuan Hukum Kementerian Hukum dan Hak Asasi Republik Indonesia, wanprestasi terjadi karena tidak terlaksananya prestasi yang diakibatkan adanya kesalahan dari pihak debitur, baik itu disengaja maupun tidak disengaja.

Kerjasama bisnis yang didasari atas suatu perjanjian/kontrak secara perdata dapat berakibat pada tindak pidana korupsi

Sebagaimana yang kita ketahui, perjanjian atau kontrak bisnis termasuk dalam lingkup hukum perdata namun demikian dapat juga ditarik dalam lingkup hukum publik manakalah subjek hukum  yang ada dalam perjanjian salah satunya berstatus sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang sebagian atau seluruh modalnya berasal dari keuangan negara.

Pasal 2 UUTPK 31 tahun 1999 mengatur setiap orang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

Adapun dalam Pasal 3 UUTPK lebih spesifik pada  menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

Apa arti melawan hukum ?

Secara melawan hukum meliputi perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sejalan dengan rasa keadilan dan norma-norma kehidupan sosial masyarakat sehingga perbuatan tersebut dapat dipidana.

Unsur melawan hukum dalam perkara korupsi merupakan poin penting dan menentukan untuk adanya suatu tindak pidana korupsi yang harus dipertanggungjawabkan oleh seseorang baik tanggung jawab karena jabatan maupun tanggung jawab secara pribadi. 

Pidana
Ilustasi kasus pidana

Menurut Philipus M. Hadjon, tanggung jawab jabatan difokuskan pada legalitas tindakan dengan parameternya peraturan perundang-undangan. 

Selanjutnya tanggung jawab pribadi merujuk kepada adanya perlakuan atau perbuatan tercela dalam konteks tanggung jawab pidana yaitu tanggung jawab atas perbuatan yang tidak patut dilakukan dengan cara melawan hukum.
 
Jadi apabila dalam suatu kontrak bisnis salah satu pihak melanggar perjanjian dan merugikan negara dapat saja ditarik dalam perkara korupsi apabila di dalamnya ditemukan adanya perbuatan melawan hukum para pihak atau pihak lain diluar dari pada perjanjian yang dilakukan secara sengaja atau karena kelalaian yang berakibat pada kerugian negara.

Perbuatan yang merugikan negara dibagi 2  yaitu mencari keuntungan dengan  cara melawan hukum dan menyalahgunakan jabatan untuk mencari keuntungan dengan merugikan negara. 

Dalam Pasal 2 ayat 1 dan 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Pasal 3 diperuntukan bagi pejabat publik atau penyelenggara negara sedangkan Pasal 2 diperuntukan bagi orang biasa (swasta) yang tidak termasuk dalam kategori penyelenggara negara atau pegawai negeri.

Indikasi ada tidaknya kerugian negara ditentukan dan dinyatakan oleh Badan Pemeriksa Keuangan sedangkan instansi lainnya seperti Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan,  Inspektorat, Satuan Kerja Perangkat Daerah tetap berwenang melakukan audit pemeriksaan tetapi tidak memiliki kewenangan untuk menyatakan adanya kerugian keuangan Negara. 

Dalam hal tertentu Hakim berdasarkan fakta persidangan dapat menilai adanya kerugian Negara dan besarnya kerugian Negara yang tentunya didukung dengan bukti-bukti yang valid.

Sebagaimana Surat Edaran Nomor 4 tahun 2016 tentang Pemberlakuan Rumusan Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2016 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan menyebutkan dalam hal terjadi tindak pidana korupsi ada kaitannya dengan perkara yang sedang diperiksa secara hukum perdata maka putusan Perdata tersebut tidak memiliki kuatan hukum mengikat.

Artinya tindak pidana korupsi menjadi prioritas penanganannya jika dibandingkan dengan upaya gugatan perdata karena wanprestasi, namun demikian gugatan perdata atas dasar wanprestasi tetap dapat diajukan melalui lembaga pengadilan tetapi  putusannya tidak mengikat secara hukum.

No comments:

Powered by Blogger.