3 Prinsip Asuransi, Wajib Diketahui
Pemegang Polis adalah pihak yang mengikatkan diri berdasarkan perjanjian dengan perusahaan asuransi untuk mendapatkan perlindungan atau pengelolaan atas resiko bagi dirinya, tertanggung, atau peserta lain.
Asuransi yang didasarkan pada suatu perjanjian memiliki kekhususan/kekhasan yang tidak dapat disamakan dengan perjanjian pada umumnya sebagaimana dasar perjanjian pada Pasal 1320 KUHPerdata yaitu adanya kata sepakat bagi mereka yang mengikatkan dirinya, kecakapan untuk membuat suatu perikatan, suatu hal tertentu, suatu sebab yang halal. Pada perjanjian asuransi mengandung beberapa prinsip fundamental yang harus dipenuhi dalam perjanjian asuransi yaitu : Principle Insurable Interest, Principle Of the Utmost Good Faith, dan Principle of Indemnity.
1. Prinsip Hubungan Kepentingan Dengan Objek Yang Diasuransikan (Insurable Interest)
Prinsip ini mempersyaratkan bahwa tertanggung hanya dapat mengasuransikan objek asuransi yang mempunyai kepentingan keuangan ataupun kepemilikan terhadap dirinya sehingga ada fakta kerugian yang dialaminya akibat terjadinya peristiwa yang dipertanggungkan tersebut. Contoh : seorang tertanggung tidak dapat mengasuransikan sebuah pesawat terbang terhadap resiko kecelakaan yang mungkin dapat dialaminya, hanya dengan membayar premi, tanpa mampu menunjukkan adanya kepentingan keuangan dari tertanggung terhadap barang yang hendak diasuransikan tersebut, misalnya pesawat tersebut adalah miliknya. Prinsip ini terdapat dalam Pasal 250 KUHDagang yang menyatakan "Apabila seorang yang telah mengadakan suatu pertanggungan untuk diri sendiri, atau apabila seorang yang untuknya telah diadakan suatu pertanggungan, pada saat diadakannya pertanggungan itu tidak mempunyai suatu kepentingan terhadap barang yang dipertanggungkan itu, maka si penanggung tidaklah diwajibkan untuk memberikan ganti rugi".
Menurut pendapat Volmar, Dorhout Mess, Emmy Pangaribuan Simandjuntak, pengertian keberadaan kepentingan yang diasuransikan pada Pasal 250 KUHDagang harus diartikan bukan waktu perjanjian asuransi diadakan, melainkan pada waktu kerugian terjadi. Menurut Man S. Sastrawidjaja bahwa walaupun polis asuransi tidak ada artinya secara finansial sampai timbulnya klaim, tertanggung juga harus membuktikan kepemilikannya, memberitahukan kepada penanggung perubahan-perubahan yang timbul termasuk penggantian kepemilikan sesuai dengan prinsip keterbukaan dan memberikan hak kepada penanggung untuk menilai bagaimana perubahan tersebut mungkin mempengaruhi risikonya.
2. Prinsip Itikad Sangat Baik (Principle Of the Utmost Good Faith)
Prinsip ini menyatakan bahwa kedua belah pihak dalam hal ini pihak penanggung dan pihak tertanggung dalam suatu perjanjian asuransi mengikatkan diri harus atas dasar itikad baik. tertanggung wajib membuka ataupun menjelaskan seluruh informasi yang harus diberikannya sehungan dengan perjanjian asuransi tersebut, karena dapat berakibat perjanjian asuransi menjadi batal demi hukum bila tertanggung menyembunyikan atau memalsukan fakta yang sebenarnya. Misalnya tertanggung sudah mengalami sakit yang parah tapi tidak memberitahukan tentang penyakit yang sebenarnya kepada perusahaan asuransi sebelum polis ditandatangani, karena apabila perusahaan asuransi sudah mengetahui sebelumnya maka besar kemungkinan perusahaan asuransi tidak akan menyetujui perjanjian asuransi tersebut atau dapat menyetujui dengan ketentuan-ketentuan tertentu.
Pada ketentuan Pasal 251 KUHDagang mengatur "semua pemberitahuan yang tidak benar, semua penyembunyian keadaan yang diketahui oleh tertanggung, meskipun dilakukan dengan itikad baik, yang sifatnya sedemikian, sehingga perjanjian itu tidak diadakan, atau tidak diadakan dengan syarat-syarat yang sama, bila penanggung mengetahui keadaan yang sesungguhnya dari semua hal itu, membuat pertanggungan itu batal".
Adanya pemenuhan terhadap prinsip utmost googfaith tersebut menggambarkan bahwa bisa saja suatu perjanjian yang telah secara formal disepakati menjadi batal dalam hal terbukti adanya penyembunyian terhadap fakta penting yang seharusnya diberitahukan.
Demikian halnya prinsip utmost googfaith kaitannya dengan pengalihan portofolio pertanggungan, perusahaan asuransi wajib memberikan kesempatan kepada pemegang polis, tertanggung, peserta untuk menyampaikan penolakan pengalihan pertanggungannya kepada perusahaan. Dalam hal pemegang polis, tertanggung, peserta menolak pertanggungannya dialihkan kepada perusahaan lain, maka pertanggungan menjadi berakhir dan perusahaan wajib mengembalikan hak pemegang polis, tertanggung, peserta. Pengembalian hak pemegang polis, tertanggung, peserta tidak dapat dibebankan dengan biaya administrasi (potongan) termasuk biaya pengakhiran polis.
3. Prinsip Indemnitas (Principle of Indemnity)
Prinsip ini menegaskan bahwa pengambilalihan resiko kerugian yang dilakukan oleh perusahaan asuransi terhadap kerugian yang diderita oleh tertanggungnya adalah tidak boleh melebihi dari kerugiaan yang sebenarnya dialaminya. Dengan pengertian lain bahwa prinsip Indemnitas dalam kontrak asuransi akan meletakkan tertanggung kembali kepada keadaan sesaat sebelum terjadinya peristiwa kerugian. Prinsip Idemnitas tidak memperbolehkan tertanggung mendapatkan keuntungan dari suatu perjanjian asuransi selain dari pada kerugian nyata yang dalaminya.
Prinsip Indemnitas diatur dalam Pasal 252 dan 253 KUHDagang yang antara lain :
Pasal 252 KUHDagang menentukan "Kecuali dalam hal-hal yang disebutkan dalam ketentuan undang-undang, maka tak bolehlah diadakan suatu pertanggungan kedua untuk jangka waktu yang sudah dipertanggungkan untuk harganya penuh, dan demikian itu atas ancaman batalnya pertanggungan kedua tersebut".
Pasal 253 KUHDagang menentukan "Suatu pertanggungan yang melebihi jumlah harga atau kepentingan yang sesungguhnya, hanya sah sampai dengan jumlah tersebut". Apabila harga penuh suatu barang tidak dipergunakan, maka apabila timbul kerugian, si penanggung hanyalah diwajibkan menggantinya menurut imbangan daripada bagian yang dipertangungkan terhadap bagian yang tidak dipertanggungkan".
Berdasakan ketentuan tersebut, menggambarkan bahwa tertanggung hanya berhak untuk mendapatkan ganti rugi dari perusahaan asuransi sebesar kerugian yang sesungguhnya dialami.Dengan kata lain, jika terjadi suatu resiko terhadap tertanggung maka perusahaan asuransi akan melakukan pemeriksaan ataupun survey terlebih dahulu untuk mentukan besarnya kewajiban perusahaan asuransi untuk memberikan ganti rugi kepada tertanggung. Walaupun resiko kejadian yang dipertanggungkan terjadi, tidak otomatis memunculkan kewajiban pembayaran perusahaan asuransi kepada tertangung karena masih diperlukan waktu tertentu untuk melakukan penelitian terhadap peristiwa yang menimbulkan kerugian untuk memastikan besarnya ganti rugi yang akan dibayarkan kepada tertanggung. Dalam proses ini biasanya terjadi konflik antara kepentingan tertanggung dengan kepetingan perusahaan asuransi, dimana tertanggung biasanya tidak peduli dengan prosedur yang dilakukan perusahaan asuransi dalam menentukan nilai klaimnya dan memaksa perusahaan asuransi untuk segera membayarkan klaim tertanggung yang disertai dengan ancaman upaya hukum.
Hormat penulis,
Frengky Richard Mesakaraeng, S.H.
- Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian;
- Kitab Undang-Undang Hukum Dagang;
- Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
- Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 69/POJK.05/2016 Tentang Penyelenggaran Usaha Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, Dan Perusahaan Reasuransi Syariah