Hukum Dan Kenakalan Remaja
Tindakan yang dilakukan oleh seorang anak atau remaja pada dasarnya diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang mana anak yang dimaksud adalah yang telah berusia 12 tahun tapi belum sampai usia 18 tahun. Menurut KUHPidana menyatakan bahwa dalam hal penuntutan pidana terhadap anak di bawah umur yang melakukan perbuatan sebelum umur 16 tahun, hakim memiliki kewenangan untuk memerintahkan anak tersebut dikembalikan kepada orang tuanya, walinya atau pengasuhnya tanpa adanya hukuman atau memperintahkan anak tersebut diserahkan kepada pemerintah tanpa adanya hukuman.
Sebenarnya hal ini sangat problematik mengingat saat ini banyak anak anak bukan saja melakukan kenalakan tetapi perbuatannya sudah mengarah pada tindakan kriminal seperti penganiayaan dan pembunuhan yang mana menurut aturan normatif sepatutnya mendapat hukuman sesuai ketentuan hukum yang berlaku, namun tidak setiap penyelesaian kasus anak melalui jalur hukum akan membuat anak lebih baik apabila dilihat dari sudut perkembangan dan pertumbuhan anak secara fisik maupun secara psisikologis.
Penyelesaian anak yang berkonflik dengan hukum dalam konteks sosial masyarakat misalnya anak yang berkonflik dengan hukum dapat diselesaikan diluar pengadilan (non litigasi) dengan prinsip kebersamaan dan keterbukaan serta melibatkan semua pihak yang terkait seperti korban, pelaku, pemerintah setempat, masyarakat maupun dan dari lembaga penegak hukum seperti kepolisian yang dapat bertindak sebagai fasilitator dan sekaligus menjadi mediator. Dengan demikian, anak yang berkonflik dengan hukum akan terhindar dari cap/label/stigma negatif dari masyarakat sekitarnya. Karena bagaimanapun kehidupan anak akan terjamin baik jika pandangan masyarakat terhadap anak tersebut baik pula.
Tugas orang tua selanjutnya adalah memberikan pendidikan moral dan etika agar anak tersebut dapat menjadi pribadi yang lebih baik.
Menurut Dorothy Law Nolte, menyatakan bahwa anak belajar dari kehidupan lingkungannya. Dorothy Law Nolte kemudian memberikan 10 contoh bagaimana anak-anak belajar dari lingkungannya, yaitu :
- Jika anak dibesarkan dengan celaan, maka ia belajar memaki.
- Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, ia akan belajar berkelahi.
- Jika anak dibesarkan dengan cemoohan, ia belajar rendah diri.
- Jika anak dibesarkan dengan penghinaan, ia belajar menyesali diri.
- Jika anak dibesarkan dengan toleransi, ia belajar menahan diri.
- Jika anak dibesarkan dengan pujian, ia belajar menghargai.
- Jika anak dibesarkan dengan sebaik-baik perlakuan, ia akan belajar keadilan.
- Jika anak dibesarkan dengan rasa aman, ia belajar menaruh kepercayaan.
- Jika anak dibesarkan dengan dukungan ia belajar menyenangi diri.
- Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan, ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan.
Dari beberapa contoh yang dikemukakakan Dorothy tersebut menunjukkan bahwa lingkungan, terutama keluarga punya peran yang sangat penting dalam membentuk sikap dan perilaku anak. Setiap orang tua pastinya menghendaki dan mempunyai ambisi anaknya bisa "sukses” dimasa depan sehingga penjatuhan pidana terhadap anak yang berkonflik justru akan merusak karakter dan perilaku anak. Karena itu pemerintah harusnya melakukan sosialisasi pendidikan anak dalam keluarga terutama bagi keluarga yang baru menikah sehingga ada upaya sejak dini untuk mengantisipasi konflik anak dimasa-masa yang akan datang.