Kenaikan BPJS Kesehatan Tidak Menyelesaikan Masalah Defisit Anggaran


Ditengah semakin mewabanya coronavirus desease (Covid-19) di Indonesia tidak menjadi penghalang bagi pemerintah untuk membuat regulasi-regulasi baru. Salah satu yang paling menyorot perhatian publik akhir-akhir ini adalah terkait kenaikan Iuran BPJS Kesehatan kategori Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) dan Bukan Pekerja (PU) yang dituangkan melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. 

Kenaikan ini mendapat respon yang berbeda-beda, bagaimana tidak, kenaikan BPJS baru saja dilakukan uji materiil oleh Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) ke Mahkamah Agung RI (MA) terhadap Perpres Nomor 75 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. 

Majelis hakim yang memeriksa permohonan uji materil yang diketuai oleh Prof. Dr. H. Supandi, S.H., M.Hum, dan dua orang hakim anggota yakni Dr. H. Yosran, S.H., M.Hum dan Dr. H. Yodi Martono Wahyunadi, S.H., M.H dalam putusannya Nomor : 7 P/HUM/2020 menyatakan bahwa Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2) Perpres Nomor 75 Tahun 2019 bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan yang lebih tinggi yaitu Pasal 2 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial serta Menyatakan Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2) Perpres Nomor 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Bagaimana kenaikan Iuran BPJS Kesehatan dari tahun 2018, 2019, dan 2020, berikut adalah perbandingannya :

Perpres No. 82/2018
Perpres No. 75/2019
Perpres No. 64/2020
Kelas III : Rp. 25.500
Kelas III : Rp. 42.000
Tahun 2020 : Kelas III : Rp25.500 + Rp. 16.500
Tahun 2021 : Rp. 35.000 + Rp. 7.000
Kelas II : Rp. 5l.000
Kelas II : Rp. 110.000
Kelas II : Rp. 100.000
Kelas I : Rp. 80.000
Kelas I : Rp. 160.000   
Kelas I : Rp. 150.00

Apabila memperhatikan Perpres Nomor 64 tahun 2020, pemerintah mengakomodir dua ketentuan pada Pasal 34 versi Perpres Nomor 82 Tahun 2018 dan Pasal 34 versi Perpres Nomor 75 Tahun 2019. Iuran bagi peserta PBPU dan perserta BP menurut Pasal 34 Perpres Nomor 64 Tahun 2020 yaitu sebagai berikut : 

Ruang Perawatan Kelas III Untuk Tahun 2020 :
  1. Sebesar Rp25.500 per orang per bulan dibayar oleh Peserta PBPU dan Peserta BP.
  2. Sebesar Rp. 16.500 per orang per bulan dibayar oleh Pemerintah Pusat sebagai bantuan Iuran kepada Peserta PBPU dan Peserta BP. 
  3. Iuran bagian Peserta PBPU dan Peserta BP atau pihak lain atas nama Peserta sebesar Rp. 25.500 per orang per bulan sebagaimana dimaksud pada angka 1, yang sebelumnya dibayarkan oleh Pemerintah Daerah sebagai bagian dari penduduk yang didaftarkan oleh Pemerintah Daerah, berdasarkan Peraturan Presiden ini dibayarkan oleh Pemerintah Daerah.
Ruang Perawatan Kelas III  Untuk Tahun 202l Dan Tahun Berikutnya:
  1. Sebesar Rp. 35.000 per orang per bulan dibayar oleh Peserta PBPU dan Peserta BP atau pihak lain atas nama Peserta.
  2. Sebesar Rp. 7.000 per orang per bulan dibayar oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sebagai bantuan Iuran kepada Peserta PBPU dan Peserta BP.
  3. Iuran bagian Peserta PBPU dan Peserta BP atau pihak lain atas nama Peserta sebesar Rp. 35.000 per orang per bulan sebagaimana dimaksud pada angka 1, dapat dibayarkan oleh Pemerintah Daerah sebagian atau seluruhnya.
Ruang Perawatan Kelas II :
Untuk Iuran bagi Peserta PBPU dan Peserta BP dengan Manfaat pelayanan di ruang perawatan Kelas II yaitu sebesar Rp. 100.000 per orang per bulan dibayar oleh Peserta PBPU dan Peserta BP atau pihak lain atas nama Peserta. 

Ruang Perawatan Kelas I :
Adapun Iuran bagi Peserta PBPU dan Peserta BP dengan manfaat pelayanan di ruang perawatan Kelas I yaitu sebesar Rp. 150.000 per orang per bulan dibayar oleh Peserta PBPU dan Peserta BP atau pihak lain atas nama Peserta. Bantuan Iuran kepada Peserta PBPU dan Peserta BP dengan manfaat pelayanan di ruang perawatan Kelas III diberikan kepada Peserta PBPU dan Peserta BP dengan status kepesertaan aktif.

Selanjutnya untuk bulan Januari, bulan Februari, dan bulan Maret 2020, pemerintah menetapkan Iuran bagi Peserta PBPU dan Peserta BP yang tidak ada bedanya dengan Iuran yang diatur pada Perpres No. 75 Tahun 2019, yaitu sebesar Rp. 42.000 per orang per bulan dengan Manfaat pelayanan di ruang perawatan Kelas III, sebesar Rp. 110.000 per orang per bulan dengan Manfaat pelayanan di ruang perawatan Kelas II, sebesar Rp. 160.000 per orang per bulan dengan Manfaat pelayanan di ruang perawatan Kelas I.

Namun demikian, Iuran untuk bulan April, bulan Mei, dan bulan Juni 2020, sama dengan besarnya Iuran bagi Peserta PBPU dan Peserta BP pada Perpres No. 82 Tahun 2018 yaitu sebesar Rp25.500 per orang per bulan dengan Manfaat pelayanan di ruang perawatan Kelas III, sebesar Rp51.000 per orang per bulan dengan Manfaat pelayanan di ruang perawatan Kelas II, dan Sebesar Rp. 80.000 per orang per bulan dengan Manfaat pelayanan di ruang perawatan Kelas I. 

Lalu apa yang menjadi dasar pemerintah optimis untuk tetap menaikan Iuran BPJS? 

Sikap pemerintah ini, dapat kita temukan pada sidang uji materil dalam perkara Nomor : 7 P/HUM/2020 yaitu :
  1. Bahwa salah satu penyebab utama adalah permasalahan defisit Dana Jaminan Sosial (DJS) dimana besaran iuran yang berlaku saat ini sudah tidak dapat membiayai klaim layanan kesehatan.
  2. Bahwa perhitungan aktuaria terkini memproyeksikan bahwa dengan besaran iuran saat ini besaran defisit program JKN akan terus membesar bahkan dapat mencapai Rp75 Triliun di tahun 2023.
  3. Bahwa berdasarkan perhitungan aktuaria, kenaikan besaran iuran dilakukan pada setiap segmen dengan tetap memperhatikan prinsip asuransi sosial dimana seluruh peserta saling bergotong-royong dan tetap harus mempertimbangkan kemampuan keuangan negara, kemampuan masyarakat dalam membayar, dan ketahanan Dana Jaminan Sosial (DJS) Kesehatan setidaknya sampai dengan tahun 2023.
  4. Bahwa tujuan utama rencana kenaikan iuran JKN yang ingin dicapai dalam jangka pendek dalam kebijakan penyesuaian iuran ini adalah mitigasi terhadap defisit carry over dan defisit berjalan (akumulatif) sehingga akan terjadi keseimbangan antara pendapatan iuran dan biaya manfaat. Koreksi iuran dilakukan dengan prinsip utama adalah menambah pendapatan BPJS Kesehatan tetapi pada saat yang sama menjaga agar tidak terjadi penambahan pengeluaran. 

Menurut MA pada Perpres Nomor 75 Tahun 2019 ternyata tidak mempertimbangkan kemampuan masyarakat untuk membayar kenaikan iuran BPJS. Pertimbangan faktual lebih menekankan pada penyesuaian iuran, karena adanya defisit anggaran. Apakah dengan menaikan iuran BPJS dapat menyelesaikan permasalahan defisit anggaran secara permanen? apakah masyarakat mampu untuk membayarnya?


MA berpandangan bahwa untuk menutupi defisit anggaran BPJS, pemerintah telah beberapa kali melakukan penyesuaian dan menyuntikkan dana, akan tetapi anggaran BPJS masih saja defisit. Kenaikan Iuran bagi Peserta PBPU dan Peserta BP sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Pasal 34 ayat 1 dan 2 Perpres Nomor 75 Tahun 2019 adalah ketentuan yang nyata-nyata tidak sejalan dan bertentangan dengan ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional yang menggariskan bahwa : “Sistem Jaminan Sosial Nasional diselenggarakan berdasarkan asas kemanusian, asas manfaat, dan asas keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” dan bertentangan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, yang menekankan bawa penyelenggaran sistem jaminan sosial nasional oleh BPJS harus berdasarkan pada asas: a. Kemanusiaan, b. manfaat; dan c. keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dengan demikian, secara yuridis Pasal 34 ayat (1) dan (2) Perpres Nomor 75 Tahun 2019 dinilai mengandung cacat yuridis secara substansi.

Lanjut MA, bahwa apabila dihubungkan dengan Hasil Audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) terhadap BPJS Kesehatan dalam Rapat Gabungan Komisi IX dan XI DPR RI serta dikaitkan realitas BPJS Kesehatan saat ini, yaitu :
  1. Anggaran BPJS Kesehatan yang selalu mengalami defisit setiap tahunnya, sehingga kesulitan dalam membayar utang ke Rumah Sakit sehingga mengakibatkan Rumah Sakit kesulitan juga dalam melakukan transaksi operasionalnya, seperti membeli obat, membayar dokter, dan para medis serta karyawan lainnya, membayar alat kesehatan dan sebagainya;
  2. Permasalahan Nomor Induk Kependudukan (NIK) Peserta;
  3. Tata kelola kepesertaan yang tidak konsiten dalam mendata masyarakat yang seharusnya ditanggung pemerintah. Hal tersebut karena tidak adanya kriteria terhadap warga miskin yang seharusnya berhak mendapatkan subsidi, sehingga menyebabkan alokasi subsidi iuran menjadi tidak tepat sasaran;
  4. Manajemen dan perhitungan BPJS Kesehatan tidak dilakukan dengan baik, sehingga tidak mampu mendeteksi kecurangan yang dilakukan oleh peserta mereka memiliki taraf ekonomi relatif baik, namun berlaku curang guna bisa menikmati subsidi iuran BPJS Kesehatan;
  5. Ketidakdiplinan masyarakat yang mampu secara financial dalam membayar iuran; - Perilaku tercela sejumlah peserta mandiri atau peserta bukan penerima upah (PBPU) yang menggunakan layanan jaminan kesehatan nasional (JKN) namun menunggak iuran BPJS Kesehatan;
  6. Banyak rumah sakit rujukan yang melakulan pembohongan data, terkait dengan kategori rumah sakit sebagai Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Pertama (FKRTL) BPJS Kesehatan;
  7. Pengobatan yang tidak perlu;
  8. Kurangnya penegakan hukum sebagaimana diatur dalam PP 86 Tahun 2013 berupa tidak dapat layanan publik terhadap perusahaan yang tidak mendaftarkan karyawannya sebagai peserta BPJS;
  9. Badan usaha yang belum tertib bekerja sama dengan BPJS Kesehatan, berupa tidak mendaftarkan pekerja dan tidak melaporkan gaji dengan benar;
  10. Tidak disiplinnya perusahaan dalam melakukan pembayaran iuran, sehingga Potensi penerimaan dari TPU Swasta menjadi tidak maksimal;
  11. Penggunaan layanan lebih besar dari jumlah peserta;
  12. Tingkat kepesertaan aktif dari pekerja bukan penerima upah masih rendah;
  13. Validitas dan integritas data BPJS Kesehatan tidak valid;
  14. Manajemen klaim dalam sistem BPJS Kesehatan yang tidak akurat. Dan lain-lain sebagainya.
Kondisi-kondisi di atas, menurut MA menunjukkan bahwa dalam perumusan kebijakan umum dan sinkronisasi penyelenggaraan Sistem Jaminan Sosial Nasional yang dilaksanakan Dewan Jaminan Sosial Nasional, dan penyelenggaraan program jaminan sosial oleh BPJS, yang terjadi dalam praktek selama ini terdapat suatu persoalan, yaitu :
  1. Struktur hukum (legal structure), berupa belum adanya koordinasi yang baik (ego sektoral) antara satu kementerian dengan kementerian lainnya dalam mengurus penyelenggaraan Sistem Jaminan Sosial; 
  2. Substansi hukum (legal substance), berupa: adanya overlapping aturan yang diterapkan dan ketidakkonsistenan antara satu instansi dengan instansi lainnya dalam proses penegakan hukum;
  3. Budaya hukum (legal culture), berupa masih banyaknya perilaku tercela dan tidak terpuji baik dari kalangan pengambil kebijakan, stakeholder maupun masyarakat di bidang jaminan sosial.
Bahwa kondisi-kondisi di atas, selanjutnya telah menimbulkan dampak sistemik secara langsung kepada masyarakat, diantaranya :
  1. Diskriminasi dalam pemberian pelayanan pada pasien;
  2. Pembatasan quota dan keterlambatan dokter dari jadwal yang sudah ditentukan;
  3. Pelayanan administrasi yang tidak professional, tidak maksimal dan bertele-tele;
  4. Sistem antrian, ketersediaan tempat tidur untuk rawat inap, dan prosedur yang menyulitkan bagi layanan cuci darah;
  5. Fasilitas yang tidak sesuai dengan fasilitas yang tertera pada kartu;
  6. Pasien terpaksa harus menambah biaya perawatan atau pasien harus menunggu untuk menjalani rawat inap;
  7. Obat-obatan yang disediakan oleh Pihak BPJS-Kesehatan semuanya adalah obat generik. dan lain-lain sebagainya. 
Bahwa dampak-dampak tersebut, menurut MA adalah sebagai akibat dari adanya :
  1. Ketidakseriusan Kementerian-kementerian terkait dalam berkoordinasi antara satu dengan yang lainnya dalam menjalankan fungsi dan tugasnya masing-masing yang berhubungan dengan penyelenggaraan program jaminan sosial ini;
  2. Ketidakjelasan eksistensi Dewan Jaminan Sosial Nasional dalam merumuskan kebijakan umum dan sinkronisasi penyelenggaraan Sistem Jaminan Sosial Nasional, karena hingga saat ini pun boleh jadi masyarakat belum mengetahui institusi apa itu;
  3. Adanya kesalahan dan kecurangan (fraud) dalam pengelolaan dan pelaksanaan program jaminan sosial oleh BPJS;
  4. Mandulnya Satuan Pengawas Internal BPJS dalam melaksanakan pengawasan, sehingga menimbulkan kesan adanya pembiaran terhadap kecurangan-kecurangan yang terjadi;
Berdasarkan uraian pertimbangan tersebut, menurut MA, kesalahan dan kecurangan (fraud) dalam pengelolaan dan pelaksanaan program jaminan sosial oleh BPJS yang menyebabkan terjadinya defisit Dana Jaminan Sosial (DJS) Kesehatan, tidak boleh dibebankan kepada masyarakat, dengan menaikkan Iuran bagi Peserta PBPU dan Peserta BP sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Pasal 34 ayat 1 dan 2 Perpres No. 75 Tahun 2019. Apalagi dalam kondisi ekonomi global saat ini yang sedang tidak menentu. 

Kesalahan dan kecurangan (fraud) pengelolaan dan pelaksanaan program jaminan sosial oleh BPJS tersebut haruslah dicarikan jalan keluar yang baik dan bijaksana dengan memperbaiki kesalahan dan kecurangan yang telah terjadi tanpa harus membebankan masyarakat untuk menanggung kerugian yang ditimbulkan.

Pembiaran terhadap Kesalahan dan kecurangan (fraud) yang terjadi justru pada akhirnya akan merugikan kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu, dibutuhkan kesadaran bersama berupa kehendak politik (political will) dari Presiden beserta jajarannya selaku pemegang kekuasaan pemerintahan dan niat baik (good will) dari masyarakat dan penyelenggara program jaminan sosial, untuk bersama-sama memperbaiki akar persoalan yang ada, membenahi sistem sekaligus meningkatkan kualitas pelayanan program jaminan kesehatan yang sedang berjalan, agar tujuan untuk memberikan kepastian perlindungan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat. 

Berdasarkan hal tersebut di atas, maka menurut penulis, pemerintah salah dalam memahami pututusan MA. Apabila mencermati putusan MA tersebut, persoalan devisit haruslah diselesaikan melalui perbaikan tata kelola di internal pemerintah bukan membebankan kepada masyarakat untuk menambal kerugian yang ada. Bagaimana pun besarnya kenaikan Iuran BPJS jika tidak ada kesadaran untuk melakukan perbaikan maka devisit anggaran akan terus terjadi.

Hormat penulis;
Frengky Richard Mesakaraeng

Dasar Hukum :
  1. Peraturan Presiden RI Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden RI Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.
  2. Peraturan Presiden RI Nomor 75 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden RI Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.
  3. Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.
  4. Putusan Mahkamah Agung Nomor : 7 P/HUM/2020.

No comments:

Powered by Blogger.